Pinrang.Berita-Terkini.Net Bagi orang Bugis yang menganut agama Islam, Hari Raya Idul Fitri adalah hajatan besar. Lebaran selalu diperingati dengan cara istimewa tanah Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Pinrang. Tak perlu diragukan lagi, Orang Bugis selalu tercitra sebagai Muslim yang taat. Di sisi lain, Lebaran jadi penegasan orang bugis tetap memegang teguh adat yang diwariskan oleh leluhur secara turun temurun.

Bukti nyatanya terletak pada eksistensi tradisi Ma’burasa. Bukan sembarangan tradisi. Bagi orang Bugis, Lebaran takkan lengkap jika sehari sebelumnya tak melakoni tradisi Ma’burasa yang dalam bahasa bugis berarti membuat kuliner tradisional bernama burasa, ketupatnya orang Bugis. Apalagi, dalam proses pembuatan burasa yang berbahan dasar beras, santan lalu diberikan sedikit garam, tak jarang melibatkan peran seluruh keluarga inti.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua DPD II KNPI Kabupaten Pinrang Haeruddin, yang mencoba memberikan suatu penjelasan terkait hadirnya Burasa di saat Hari Raya Idul Fitri.
Lebih lanjut Pria yang bergelar Sarjana Pendidikan ini mengatakan dalam proses pembuatan Burasa atau dikenal dengan nama ma'burasa melibatkan semua anggota keluarga dimana Ayah, ibu, dan anak-anak ikutan larut dalam narasi gotong royong Ma’burasa. Ada yang mulai menyiapkan bahan makanan, ada pula yang membungkus burasa dengan daun pisang, serta ada juga yang bertugas mencari kayu bakar sembari menjaga perapian agar terus menyala.

Perlu diingat, burasa memang sengaja tak dimasak dengan kompor gas, melainkan masih dimasak dengan kayu bakar supaya rasa otentik dari burasa tetap terjaga dan dapat bertahan hingga tiga hari tanpa dipanaskan. Menariknya, tak cuma satu atau dua keluarga yang melakukan Ma’burasa.

Mayoritas umat Muslim di tanah Bugis pun ikut andil dalam tradisi. Dalam proses memasak yang memakan lima hingga enam jam itu, biasanya para tetangga berkumpul di halaman belakang rumah salah seorang warga guna membangun kearaban dengan obrolan-obrolan ringan dan senda gurau. Otomatis, lewat aktivitas tersebut tak jarang muncul sebuah ikatan emosional antartetangga.

Melestarikan Ma’burasa sama halnya dengan merayakan euforia yang terkandung di dalamnya. Ketua KNPI ini juga menjelaskan Ma’burasa dapat langgeng melegenda menjadi tradisi karena sarat akan nilai-nilai penting kehidupan.

Beberapa di antaranya dapat dilihat tepat setelah burasa matang. Menurut tradisi, sebelum burasa disuguhkan, terlebih dahulu diadakan ritual membaca doa yang terkenal dengan nama Mabbaca-baca. Biasanya, burasa akan lebih dulu disuguhkan kepada seorang imam atau ustaz yang sedang memimpin pembacaan doa sebagai bentuk syukur telah melalui Ramadhan dan supaya empunya rumah dapat kembali berjumpa Ramadan tahun depan.

Dalam proses ini, rasa solidaritas sosial dan wacana kuasa muncul kembali. Sebab, mereka yang merasa terpandang di masyarakat akan memanggil warga lainnya untuk ikut makan dan merasakan panganan burasa yang dimasaknya. Selebihnya, ada pula nilai lain semisal konsep kebersamaan di dalam menyantap burasa.
Lebih baru Lebih lama