Opini
*Nawa Cita dan Jalan Pulang HMI*
Oleh: Khaerul Syahreza Abbas
Dalam pusaran sejarah gerakan mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menempati ruang istimewa. Ia lahir bukan dari kekosongan, tapi dari dialektika zaman, pertemuan antara keislaman dan keindonesiaan, antara nalar kritis dan tanggung jawab sosial. Namun dalam beberapa tahun terakhir, ruh itu terasa samar. Para kader HMI sering kali terjebak dalam kemegahan masa lalu, tapi abai membaca kegentingan hari ini.
Itulah mengapa gagasan Nawa Cita HMI, khususnya dalam ruang pembentukan kader, menjadi penting untuk dibicarakan. Bukan sekadar sembilan poin harapan, Nawa Cita adalah refleksi atas kegelisahan kolektif bahwa organisasi ini tak boleh kehilangan arah. Ia adalah upaya membentuk manusia merdeka yang berpikir, beriman, dan bertindak.
Sayangnya, ruang pembentukan kader hari ini kerap menjadi formalitas. Kader disuguhi modul, bukan tantangan. Didorong menyelesaikan pelatihan, bukan menumbuhkan kesadaran. Maka yang lahir bukanlah pejuang, tapi teknokrat; bukan pemimpin gagasan, tapi pengatur acara. Dalam kondisi seperti ini, Nawa Cita seharusnya hadir sebagai koreksi. Sebuah jalan pulang bagi HMI untuk kembali pada marwahnya sebagai rumah intelektual dan gerakan.
Gagasan besar seperti tauhid sebagai basis pembebasan, intelektualitas sebagai jalan perjuangan, atau humanisme sebagai ruh pergerakan, harusnya tidak hanya menjadi dokumen pelatihan. Ia mesti menjadi kenyataan dalam kehidupan kader. Inilah yang disebut Plato sebagai lompatan dari bayang-bayang menuju realitas ide. Inilah yang dimaksud Karl Marx saat mengatakan bahwa dunia tidak berubah hanya karena ia dipahami, melainkan karena ada kehendak untuk mengubahnya.
Dalam konteks ini, pemikiran Nurcholish Madjid menjadi sangat relevan. Dalam berbagai tulisannya, Cak Nur menekankan bahwa Islam harus dibawa dari simbol menuju substansi, dari formalisme menuju esensi. Dalam orasi terkenalnya, “Kebebasan adalah Mahkota Kehidupan,” Cak Nur menyatakan bahwa keislaman yang matang adalah yang lahir dari kesadaran, bukan dari doktrin atau paksaan. Maka kaderisasi HMI, bila ingin melahirkan pemimpin dan pemikir yang otentik, harus menjadikan kebebasan berpikir sebagai syarat utama. Sebab hanya kader yang bebaslah yang mampu berpikir kritis dan bertanggung jawab pada kebenaran, bukan pada kepentingan.
HMI tidak kekurangan kader pintar. Yang kurang adalah keberanian berpikir merdeka dan integritas dalam bertindak. Kita terlalu banyak memproduksi administrator organisasi, tapi minim melahirkan penggerak. Padahal, organisasi seperti HMI seharusnya tidak menjadi tangga karier, tapi ladang pengabdian. Tidak melahirkan kompetitor dalam politik internal, tetapi pelopor dalam perjuangan rakyat.
Nawa Cita adalah peringatan bahwa organisasi ini bukan milik elite struktural, bukan pula warisan senioritas. Ia adalah ruang hidup bagi siapa pun yang bersedia ditempa dan menempuh jalan sunyi perubahan. Ia mengajak kita kembali kepada inti: bahwa kaderisasi bukanlah pengisian formasi, melainkan pembentukan karakter. Dan karakter itu tidak lahir dari kenyamanan, melainkan dari dialektika, keberanian, dan pengorbanan.
Di tengah zaman yang gemar menjual idealisme demi posisi, masih adakah yang mau menghayati Nawa Cita sebagai jalan hidup? Masih adakah yang rela berpihak pada nilai ketimbang pada figur? Jika masih ada, maka HMI belum kehilangan arah sepenuhnya. Tapi jika tidak, maka organisasi ini akan menjadi fosil gerakan, besar dalam cerita, kosong dalam kenyataan.
Sebagai kader, kita punya tanggung jawab sejarah. Bukan untuk mempertahankan simbol, tapi untuk menghidupkan kembali ruh perjuangan. Nawa Cita bukan sekadar program, ia adalah pertaruhan kita untuk menjawab, apakah kita benar-benar sedang membentuk manusia pembebas, atau hanya sedang mengulangi kebisingan yang sama di dalam ruang yang makin kehilangan arah.
---
Referensi:
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Paramadina, 1992)
Nurcholish Madjid, "Kebebasan adalah Mahkota Kehidupan", dalam Pidato-Pidato Kebudayaan
Karl Marx, Theses on Feuerbach
Plato, The Republic
---
Penulis adalah kader HMI Cabang Pinrang dan mahasiswa Komunikasi Digital di Universitas Insan Cita Indonesia.